Kamis, 25 November 2010

NOEL JAMES COULSON

MODEL PENELITIAN FIQIH

KONFLIK DALAM YURISPRUDENSI ISLAM

(NOEL JAMES COULSON)

A. Latar Belakang Masalah

Pembahasan Muslim dan Non-Muslim (orientalis) secara sadar muncul dalam konflik antara Muslim Timur dan Kristen Barat selama masa pertengahan. Sejalan dengan kemunduran negeri-negeri Muslim dan berada dibawah penjajahan Barat beberapa abad lamanya, dua konsep simultan tentang studi Islam muncul, satu diluar dunia Muslim dan lainnya di dunia Muslim. Kebanyakan pembaca Barat lebih dekat dengan karya-karya dan kritik Islamis Barat tentang Islam. Namun demikian, mereka kurang akrab dengan impak dari kajian para sarjana Muslim yang telah berusaha mempertahankan tradisi mereka sesuai dengan sumber, standar, dan kriteria yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dengan kata lain Studi Islam di Barat didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan kolonial untuk belajar dan memahami masyarakat yang mereka kuasai.

Di sisi lain studi Islam di Barat juga perlu diuji. Dengan rasa ingin tahu dan metode spekulasif, para sarjana Barat dirangsang oleh kontak mereka dengan kebudayaan Timur. Studi-studi mereka kurang deskriptif dan analistis, tetapi lebih bersifat historis dan terkaan. Hal ini adalah benar menyangkut karya-karya tertulis tentang agama Islam khususnya. Persoalan-persoalan tentang asal-usul Islam, derivasi pengetahuan dan gagasan-gagasan nabi, kronologi susunan ayat-ayat al-Qur’an, otensitas hadits, dan materi-materi lainnya, menjadi topik besar penelitian. Disamping karya-karya mereka lebih banyak meninggalkan terkaan, metode-metode yang digunakan pun jauh dari “bidang” yang disulap untuk menjelaskan Islam. Sosialis kembali pada interpretasi Marxis, menemukan dalam teori perjuangan kelas sebagai solusi atas persoalan tentang sebab-sebab historis dan mereka mengabaikan kemungkinan orisinalitas Islam. Di Eropa Barat dan Amerika, akar-akar Islam dipandang berasal dari tanah-tanah subur Judeo-Kristiani. Kebenaran-kebenaran yang diterima dan dipegangi seluruh Muslim selama 14 abad yang lampau- kehidupan nabi, sunnahnya dan tes al-Qur’an, yang semuanya merupakan muatan iman Muslim yang suci ditundukkan pada analisis kritis yang salah arah, yang kadang-kadang tidak benar dan kurang sensitif. Situasi ini dipersulit lebih jauh oleh warisan ketidak senangan pengalaman politik masa lalu dan prasangka kultural yang terus hidup.[1]

Tujuan penulisan ini adalah untuk menyajikan perspektif Muslim tentang hubungan keyakinan Islam dengan disiplin keilmuan yang mengkajinya. Karena sejarawan agama yang menulis tentang Islam mengumpulkan sedikit informasi terutama dari para pakar Barat dalam “studi Islam”, fokusnya adalah pada permasalahan Islam. Esensi masalah yang perlu dikemukakan adalah : Apakah istilah studi Islam (Islamic studies) menandai pencarian intelektual yang hanya diupayakan dan dipertahankan oleh para sarjana Barat? Pandangan ini, meskipun sudah umum didunia Barat, mengabaikan studi Islam oleh para Muslim sendiri sejak kemunculan Islam. Lalu , apakah studi Islam Barat secara intrinsik salah arah atau berbahaya? Ini juga merupakan sikap buta terhadap capaian-capaian yang telah dicapai oleh banyak non Muslim. Dimana letak masalah yang banyak dialami Muslim dengan studi Islam”?

Sebagaimana dikenal oleh sarjana hukum di barat pada umumnya, bahwa konflik berasal dari kontroversi pertanyaan mendasar mengenai hakikat hukum. Konflik pada dasarnya merupakan produk dari keragaman filsafat hidup dan ideologi politik yang populer di dalam peradaban barat dan juga keragaman pandangan tentang nilai-nilai akhir dan tujuan hidup manusia.[2]

Yurisprudensi Islam menurut Coulson dalam arti yang tidak ada kompromi, menurut keyakinan agama itu sendiri. Hukum adalah sistem tentang perintah Tuhan yang ditentukan secara ketuhanan. Menolak prinsip ini pada dasarnya meninggalkan keimanan dalam Islam. Ia juga mengatakan Tuhan memberikan , manusia yang mengatur.[3]

Coulson mengatakan Yurisprudensi Islam adalah keseluruhan proses aktifitas intelektual yang memastikan dan menemukan istilah keinginan Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam suatu sistem hak dan kewajiban yang secara hukum dapat dilaksanakan. Dalam istilah-istilah dan batasan-batasan seperti itulah ketegangan dan konflik pemikiran Islam timbul.

Konflik dalam Yurisprudensi Islam merupakan buah karyanya yang kelima. Buku ini mengetengahkan penyelidikan Prof. Coulson mengenai hakikat hukum Islam dengan cara menguji enam sifat yang berlawanan. Keenam sifat itu adalah wahyu dan akal, kesatuan dan keragaman, otoritas dan kebebasan, idealisme dan realisme, hukum dan moralitas, serta stabilitas dan perubahan. Prof. Coulson mencoba mengarahkan sejarah perkembangan hukum Islam yang diperankan oleh para Hakim dan Mufti.

Keenam prinsip konflik tersebut ditawarkan untuk diuji dan tidak harus dipandang sebagai aspek-aspek pemikiran hukum Islam yang terpisah dan berbeda melainkan harus dipandang sebagai topik yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan yang penulis uraikan di atas, maka penulis dapat merumuskan maslah sebagai berikut;

1. Apa pengertian dari Konflik dalam Yurisprudensi Islam?

2. Bagaimanakah pandangan Coulson terhadap hakikat hukum Islam?

3. Bagaimanakah Konflik dalam Yurisprudensi Islam diuji melalui enam prinsip konflik oleh Coulson?

C. Pentingnya Topik Penelitian

Model penelitian fiqh yang dikembangkan oleh para orientalis terutama dalam konflik yurisprudensi Islam, dalam kasus-kasus tertentu, dikaitkan dengan pemikiran hukum yang berkembang di kalangan masyarakat Barat. Dalam persoalan pokok dan amat sentral dalam pembahasan hukum Islam bertumpu pada wahyu dan akal yang kemudian muncul masalah-masalah lain seperti kesatuan dan keragaman, otoritas dan kebebasan, idealisme dan realisme, stabilitas dan perubahan. Secara sepintas hubungan dua kutub nampak berbeda dan bahkan bertentangan, namun jika dicermati keduanya saling berhubungan dan dan bersifat komplementer dan bukan saling bertentangan, sehingga umat Islam tidak perlu lagi terjebak pada penegakan hukum semata tanpa memperhatikan pentingnya landasan moral.

Dalam model penelitian ini, suatu metodologi yang diharapkan adalah mendekati obyektif yakni kombinasi dan sinergi dengan pendekatan normative dan empiris, sebab penelitian yang dilakukan orientalis patut dipertanyakan keabsahannya dalam mengkaji secara obyektif agama Islam.[4]

Bahwa pendapat ahli hukum tidak bisa dianggap sebagai hukum, karena itu hanyalah suatu usaha memahami atau menemukan hukum bukan untuk menciptakan atau menentukannya. Oleh karenanya ijma’ harus membuktikan kebenaran hukum yang sesuai dengan nash.

Topik yang ditawarkan Coulson akan memberikan landasan yang kokoh dan logis dalam rangka menghadapi problem besar hukum kontempoer dan yurisprudensi Islam.

D. Telaah Pustaka

Untuk membandingkan dan melengkapi literatur mengenai topik dalam tulisan ini, maka penulis menyebutkan beberapa referensi berikut, meskipun di sisi lain ada perbedaannya.

Joseph Schacht dalam An Introduction to Islamic Law yang setuju dengan tesis yang mengatakan bahwa hukum Islam memang banyak: berhutang budi kepada sistem-sistem hukum. Schacht berpendapat bahwa hukum islam, baru muncul di sekitar abad kedua hijriah. Coulson menyatakan bahwa hukum islam telah lahir pada masa Rasul.

J.N.D Anderson dalam Islamic Law in The Modern World, Penulisan ini telah mempengaruhi Coulson untuk memberikan perhatian terhadap hukum Islam kontemporer. Sehingga dia mengkombinasikan bidang yang ditekuni Schatc dan Anderson yakni hukum Islam klasik, tengah dan modern dan juga membandingkannya dengan pemikiran dan prktik hukum yang berkembang di kalangan masyarakat Barat.

Imam Asy-Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri Ushul Fiqh atau di anggap sebagai perintis dan Bapak yurisprudensi Islam. Juga Beberapa Fuqaha yang lain yakni Fiqh Hanafi, Maliki dan Hambali. 4 Mazhab tersebut adalah awal dan landasan para orientalis untuk mengkaji Hukum Islam dan salah satunya yaitu Noel James Coulson.

E. Metodologi Penelitian

Secara umum, pendekatan dan metode yang digunakan Coulson sama dengan yang digunakan sarjana barat lainnya dalam bidang ke-Islaman, yakni tergolong Revisionis dan bahkan Double Revisionis dan bukan tadisionalis. Dengan pendekatan dan metode yang demikian, maka karya-karya sejarah tentang Islam, termasuk hukum Islam, dikaji ulang dan dicoba ditafsirkan kembali data sejarah yang ada dengan menggunakan pendekatan yang lazim di Perguruan Tinggi Barat [5]. Namun demikian, meskipun dengan metode dan pendekatan yang sama tidak selalu pada kesimpulan yang sama pula.

Menurut pemahaman penulis ada tiga pendekatan yang digunakan orientalis dalam penelitian hukum Islam, atau disebut Three dimensional approach sebagaimana yang dikemukakan oleh john O. voll yaitu:
1) Peneliti harus memberikan perhatian yang cukup terhadaq pemikiran tokoh & kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam satu gerakan tertentu.
2) Hendaknya diteliti bagaimana respon gerakan tersebut; terhadap ide-ide baru yang muncul di tengah masyarakat.

3) Seorang peneliti harus mempunyai bekal yang cukup tentang ajaran Islam itu sendiri.

Adapun model yang digunakan dalam penelitian hukum Islam adalah biasa disebut dengan Anachronistic modes of interpretation (r. stephen trtumphryes), ada dua model:

1) pertama, Synchronic, yakni memahami data sesuai dengan apa adanya.
2) kedua, Diachronic, yakni menginterpretasi data (masa lalu ) berdasarkan situasi dan kondisi dan pemahaman masa kini[6].

Dengan kedua model ini, kejadian masa lalu menjadi hidup kembali dan bermakna bagi manusia sekarang dan bahkan yang akan datang.

Penelitian Coulson telah mengkombinasikan pikiran-pikiran Schacht dan Anderson serta membandingkannya dengan pemikiran dan praktik hukum yang berkembang di kalangan masyarakat Barat. Jadi pemikiran Coulson menurut Muhammed Salim el- Alwa sangat dipengaruhi oleh kerangka berpikir, pendekatan, metode yang berkembang dalam tradisi pemikiran Barat, hal ini terlihat ketika Coulson meyakini adanya pemisahan antara moral dengan hukum dan antara etika dengan hukum[7].

F. Ruang Lingkup Penelitian

1. Pengertian

Konflik, berasal dari kontroversi pertanyaan mendasar mengenai hakikat hukum. Konflik pada dasarnya merupakan produk dari keragaman filsafat hidup dan ideologi, politik yang populer di dalam peradaban Barat dan juga keragaman pandangan tentang nilai-nilai akhir dan tujuan hidup manusia.

Yurisprudensi Islam adalah keseluruhan proses aktifitas intelektual yang memastikan dan menemukan istilah keinginan Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam suatu sistem hak dan kewajiban yang secara hukum dapat dilaksanakan. Tetapi proses ini tidak menjadi hukum dan tidak pula berlaku sebagai preseden yang harus didiikuti dan untuk melaksanakan hak dan kewajiban kecuali jika ia benar-benar sejalan dengan Nas (Al-qur’an dan Sunnah)[8].

Menurut Salmond dalam Jurisprudence, hukum mencakup setiap aturan bertindak, setiap standar atau pola di mana perbuatan-perbuatan (baik yang melalui perantara rasio atau kerja-kerja alamiah itu ada atau harus disesuaikan[9].

2. Hakikat Hukum Islam

Persoalan mendasar menyangkut hakikat hukum Islam telah selesai dalam arti, pengakuan tidak adanya kompromi bahwa hukum itu didasarkan pada keyakinan keagamaan itu sendiri. Hukum adalah sistem perintah yang diwahyukan Tuhan. Mengingkari prinsip ini berarti menolak keyakinan agama. Walupun hukum di dalam Islam merupakan pemberian Tuhan, tetapi manusia yang harus merumuskan dan mempergunakannya. Tuhan yang merencanakan, manusia yang memformulasikan. Antara rencana Tuhan semula dan disposisi manusia pada akhirnya terdapat bidang aktifitas intelektual dan keputusan yang amat luas.

Coulson menampilkan contoh pengadilan Islam di Maroko sekarang ini, dapat mengabulkan permintaan cerai seorang istri dengan alasan merasa dirugikan suami yang mengambil istri kedua. Ketetapan cerai merupakan disposisi manusia yang berasal dari ketentuan Tuhan yang terkandung di dalam Al-Qur’an bahwa”istri-istri agar diperlakukan dengan kearifan”. Tetapi antara teks Al-Qur’an dan ketetapan pengadilan terdapat rangkaian pertanyaan mengenai siapa yang menetapkan kebenaran teks Al-Quran?, Apa arti yang tepat berkenaan dengan norma-norma perilaku sosial yang terkandung di dalamnya? Dengan wewenang macam apa arti yang tepat itu diungkapkan dan ditentukan dalam bentuk-bentuk peraturan-peraturan yang sah yang harus dipatui oleh pengadilan dan penanganan hukum yang bisa diberikan?[10]

3. Enam Prinsip Konflik dalam Yurisprudensi Islam

a. Wahyu dan Akal

Hukum Islam telah dilukiskan sebagai hukum Tuhan sekaligus hukum yang dlahirkan oleh para fuqaha. Gambaran yang agak kontradiksi ini memberi peluang munculnya konflik dasar antara wahyu Tuhan dan pemikiran manusia (fuqaha). Problem yang dipilih Coulson adalah tentang warisan. Ada kasus seorang wanita muslimah yang meninggal dunia tanpa berwasiat, dengan meninggalkan suami-ibu-kakek dari pihak ayah saudara laki-laki kandung dan dua saudara laki-laki seibu.

Ahli waris yang ditentukan dalam Al-Qur’an adalah ibu-anak perempuan dan saudara perempuan, saudara laki-laki seibu-suami atau istri yang masih hidup. Tetapi bagaimana dengan sanak famili keturunan melalui pihak laki-laki yang hampir tidak mendapatkan sebutan dalam Al-Qur’an?

Untuk menjawab masalah ini para fuqaha berpaling kepada materi yang melengkapi wahyu Tuhan yang terdapat dalam sunah Nabi dan mendapatkan pemecahannya di dalam keputusan Nabi dalam kasus harta milik Saad. Istri Saad dengan 2 orang anak perempuannya ditinggal tanpa harta sedikitpun, karena seluruh harta milik Saad telah diambil oleh saudara laki-laki Saad yang menuntut harta waris sesuai menurut hukum adat suku sebagai orang terdekat menurut keturunan garis laki-laki.

Tidak lama setelah itu ayat-ayat tentang waris turun. Kemudian Nabi memutuskan bahwa janda Saad semestinya mendapat bagian dari harta tersebut seperti yang telah ditentukan Al-Qur’an yakni 1/8; 2 orang anak perempuan masing-masing 1/3 jadi keduanya secara bersama-sama mendapat 2/3 dari harta; sedangkan saudara laki-laki Sad mendapatkan sisa (asabah) dalam kasus ini jumlah bagiannya menjadi 5/24 dari harta.

Dari pemecahan masalah ini bisa dikatakan hukum adat tetap berlaku disertai beberapa modifikasi sebagaimana diperkenalkan oleh Al-Qur’an. Alqur’an tidak sepenuhnya mnggantikan hukum yang ada, tetapi hanya memperbaiki dalam kasus-kasus tertentu.

Menurut Coulson dari sudut ini hukum Islam adalah hukum Tuhan dan sekaligus hukum buatan manusia. Dalam pemikiran yurisprudensi Islam dua deskripsi tersebut adalah saling melengkapi dan tidak saling kontradiksi.[11]

b. Kesatuan dan Keragaman

”Perbedaan pendapat dikalangan umatku adalah rahmat dari Allah”. Diktum yang diyakini berasal dari Nabi Muhammad SAW. Ini digunakan untuk menjelaskan sekaligus menjustifikasi yurisprudensi Islam, terutama menyangkut adanya pandangan yang sangat bervariasi dalam ajaran fiqh yang dirumuskan oleh para fuqaha.

Sebagai contoh, Coulson mengungkap soal perkawinan. Sejauh menyangkut sifat-sifat dasar lembaga perkawinan, demikian juga tentang poligami, semua mazhab sepakat. Namun muncul pertanyaan seberapa jauh suami istri bebas mengatur hubungan perkawinan mereka sendiri, berkaitan dengan hak dan kewajiban, dengan menyetujui syarat-syarat khusus dalam akad perkawinan? seperti contoh: suami menyetujui dalam akad perkawinan bahwa dia tdak akan mengambil istri kedua selama berlangsungnya perkawinan. Apakah ini sah dan persetujuan tersebut dapat dilaksanakan atau tidak. Prinsip yang dikenal berkaitan dengan terminologi hukum adalah ibadah yang dapat diterjemahkan sebagai toleransi. Menurut Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i bahwa ibadah tidak mempunyai relevansi di sini. Namun fiqh Hanbali memegang prinsip ibadah dapat digunakan dalam kasus tersebut. Persetujuan pada umumnya sah dilaksanakan asalkan tidak ada hukum yang melarang secara khusus hal tersebut, atau secara nyata berlawanan dengan esensi perkawinan.

Aturan poligami itu bersifat kebolehan bukan perintah. Poligami tidak secara khusus dilarang dan tidak pula berlawanan dengan esensi perkawinan bahwa seorang laki-laki hanya memiliki seorang istri. Karena itu persetujuan suami istri dalam hal ini sah dan dapat dilaksanakan sehingga istri akan dibebaskan dari kujiban-kuajibannya dan akan memperoleh surat ketetapan cerai apabila mengajukan permohonan ke pengadilan. Ini merupakan proses tujuan sosial yang baik dan telah memberikan arti praktis baru dan lebih dalam terhadap diktum Nabi yang terkenal: ”Perbedaan dikalangan umatku adalah rahmat dari Allh” [12]

c. Otoritas dan Kebebasan

Dalam kasus ini Coulson mengangkat contoh kasus perceraian. Menurut konsensus fuqaha tradisional, kekuasaan penolakan yang dimiliki suami adalah sewenang-wenang dan absolut. Dia dapat menggunakan sewaktu-waktu, dan moifnya dalam menjatuhkan talaq tidak bisa digugat baik melalui pengadilan atau badan resmi lainnya. Dalam hukum Islam modern bahwa Mahkamah Agung memberi restu kepada keputusan pengadilan tinggi atas kasus Balquis Fatima yang mengajukan cerai karena suaminya gagal memberi nafkah atau disebut perceraian khulu’. Usulan apa saja yang beranjak dari hukum otoritas klasik harus selalu didasarkan atas petunjuk Al-Qur’an atau As-Sunnah atau sekurang-kurangnya tidak berlawanan.[13]

d. Idealisme dan Realisme

Dalam pembahasan ini Coulson lebih menitikberatkan kepada perumusan dan perkembangan doktrin hukum oleh para ahli hukum Islam. Coulson bermaksud memberikan perhatian menyangkut praktik hukum dalam Islam, administrasi hukum melalui pengadilan resmi negara Islam.

Salah satu contoh dalam pembahasan ini adalah;dari doktrin syari’ah yang susbtantif (riil) dimana idealisme fuqaha bertentangan dengan keadaan praktik hidup, misalnya konsep riba. Menurut hukum syari’ah kontrak khamisa, 1/5 adalah batal atas dasar bahwa sewa tersebut tidak menentu; pertama kontrak itu terdiri dari bahan makanan yang tunduk kepada fluktuasi harga pasar. Kedua nilai persis dari porsi 1/5 bergantung pada kualitas hasil panen dan tidak diketahui pada saat kontrak ditandatangani. Menurut pemahaman fuqaha, kontrak ini penuh dengan resiko dan spekulasi. Keuntungan yang menjadi milik tuan tanah atau penyewa merupakan keuntungan spekulatif dan serupa dengan riba. Meskipun begitu kontrak khamisa dipraktikkan secara luas sebagai sesuatu kebutuhan ekonomi dalam masyarakat yang mempunyai modal fluktuasi kecil, dan akhirnya para qadi Maliki mengakui keabsahan lembaga tersebut, atas dasar kebutuhan sehingga hal itu menjadi bagian integral dari hukum syari’ah seperti diterapkan oleh pengadilan mereka. Jadi doktrin syari’ah, baik dalam tradisi sejarah maupun praktik kontemporer, hanya merupakan bagian dari sistem hukum Islam aktual[14].

e. Hukum dan Moralitas

Dalam lapangan hukum keluarga kontemporer Islam sedang mengalami kebangkitan moralisme hukum. Pengadilan yang menerapkan hukum syari’ah sekarang ini, di dalam memutuskan apakah perceraian itu karena alasan yang tepat atau apakah perkawinan poligami yang ditawarkan adalah tidak merugikan hak perlakuan adil bagi istri, atau dalam membuat wasiat atas nama almarhum yang lupa dalam melaksanakan kewajiban pribadinya, adalah dalam rangka melaksanakan standar etika yang berakar dari doktrin syari’ah yang telah lama diabaikan oleh praktik pengadilan syari’ah. Berdasarkan ketentuan hukum modernis di Timur Tengah sekarang ini pengadilan-pengadilan itu diharapkan untuk melakukan sensor umum dan menjadi penjaga moral masyarakat seperti hakim-hakim di Inggris dalam kasus Shaw.[15]

f. Stabilitas dan Perubahan

Dalam sejarah hukum universal hampir tidak tidak ada clash yang bergema antara kekuatan stabilitas dan kekuatan yang menggerakkan perubahan dibanding yang dihadapi Islam kontemporer. Stabilitas yang mnampak di dalam benteng doktrin syari’ah yang telah dicatat di dalam kitab-kitab hukum abad pertengahan yang menggambarkan sistem hukum Tuhan yang benar secara universal dan terus-menerus bagi masing-masing mazhab. Dengan menggunakan doktrin darimazhab-mazhab yang lain dengan membebaskan para hakim dan ahli hukum dari doktrin taqlid yang otoriter dan mengijinkan kebebasan yang lebih besar bagi pemikiran hukum baik dengan jalan interpretasi wahyu Tuhan atau dengan cara solusi masalah yang tidak secara khusus diatur oleh wahyu Tuhan, hukum syari’ah tetap mampu mengontrol kehidupan keluarga dan dalam beberapa kasus mempertegas kembali kontrol itu dengan kekuatan baru melalui kebangkitan moralisme hukum.

Dalam Islamic Reform, Kerr mengatakan : yang mendasari tradisi pemikiran sosial Islam adalah kesadaran pesimistis tentang ketegangan antara ideal dan aktualitas, spiritual dan temporal, kebaikan dan kekuasaan, perintah Tuhan dan tingkah laku manusia [16]

Muhammad Muslehuddin berpendapat bahwa Kerr, dan juga Coulson salah dalam berpendapat tentang hukum Islam, yakni mereka mengatakan bahwa hukum Tuhan adalah pendapat para ulama dan perbedaan pendapat yang ada tentangnya dianggap sebagai konflik dan ketegangan dalam hukum itu sendiri.

Usaha-usaha para ulama dalam menafsikan hukum Tuhan, adalah untuk memahami dan menemukan hukum bukan untuk menentukan atau menciptakannya.[17]

G. Sumbangan dalam Keilmuan

Sumbangan keilmuan yang dapat kita ambil dari penulisan dan penelitian Noel James Coulson adalah;

1. Validitas (keabsahan) Orientalisme sebagai peletak sumber hukum Islam diBarat. Terlebih pada jaman mutakhir ini literatur keIslaman di banjiri oleh bahan-bahan dalam berbagai bahasa Barat yang kaya karya-karya penting. Sehingga ini merupakan tantangan metodologis tersendiri bagi umat Islam dalam mengkaji kajian keIslaman.

2. Keabsahan orientalis dalam peletak sumber hukum Islam di Barat merupakan pertanyaan besar yang perlu mendapatkan respons dan perlunya mendefinisikan sikap yang obyektif dan konsisten terhadap orientalisme. Sehingga studi perbandingan sistem hukum Islam dari Umat Islam untuk meluruskan berbagai pandangan negatif terhadap hukum Islam dari kalangan orientalis

3. Memberikan pengetahuan kepada umat Islam, bahwa tidak semua orientalis bertentangan dengan hasil penelitian dan pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam, Coulson berusaha meyakinkan para sarjana lainnya bahwa ada hadis yang betul-betul berasal dari Nabi, pandangan ini sejalan dengan penelitian umat Islam pada umumnya.

4. Memberikan pengertian kepada umat Islam bahwa keenam konflik tersebut adalah saling berhubungan serta bersifat komplementer dan bukan saling bertentangan.

5. Umat Islam tidak lagi tidak terpukau terhadap pola pikir sekuler ala barat yang secara tegas memisahkan hukum dari moral.

6. Apa yang di tulis Noel James Coulson akan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi para peneliti dan mahasiswa terutama yang mempelajari perbandingan hukum.

H. Kesimpulan

Berdasarkan pengkajian dan penelaahan karya Noel James Coulson, maka penulis dapat memberikan konklusi sebagai berikut;

Konflik pada dasarnya merupakan produk dari keragaman filsafat hidup dan ideologi politik yang populer di dalam peradaban barat dan juga keragaman pandangan tentang nilai-nilai akhir dan tujuan hidup manusia.

Yurisprudensi Islam adalah keseluruhan proses aktifitas intelektual yang memastikan dan menemukan istilah keinginan Tuhan dan mentransformasikannya ke dalam suatu sistem hak dan kewajiban yang secara hukum dapat dilaksanaka.

Persoalan mendasar menyangkut hakikat hukum Islam telah selesai dalam arti, pengakuan tidak adanya kompromi bahwa hukum itu didasarkan pada keyakinan keagamaan itu sendiri. Hukum adalah sistem perintah yang diwahyukan Tuhan. Mengingkari prinsip ini berarti menolak keyakinan agama. Walupun hukum di dalam Islam merupakan pemberian Tuhan, tetapi manusia yang harus merumuskan dan mempergunakannya.

Konflik dalam Yurisprudensi Islam merupakan buah karyanya yang mengetengahkan penyelidikan Prof. Coulson mengenai hakikat hukum Islam dengan cara menguji enam sifat yang berlawanan. Keenam sifat itu adalah wahyu dan akal, kesatuan dan keragaman, otoritas dan kebebasan, idealisme dan realisme, hukum dan moralitas, serta stabilitas dan perubahan.

Keenam sifat tersebut adalah saling berhubungan serta bersifat komplementer dan bukan saling bertentangan.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Yasid, Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Hasan Hanafi et.al, Pengantar Abu Hatsin, Islam dan Humanisme, Semarang: Pustaka Pelajar, 2007

Kerr, Islamic Reform, California, 1966

Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikirin Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991

Noel James Coulson, Pengantar Akh. Minhaji Konflik Dalam Yurisprudensi Islam, penerjemah Fuad, Yogyakarta: Navila, 2001

Richard C.Martin. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, kata pengantar ; H. M. Amin Abdullah, Surakarta, Muhammadiyah University Press 2002

Sadari Ahmad, Validitas Orientalisme Sebagai Peletak Sumber Kajian Hukum Islam di Barat, 0 komentar,http:uinsuka.blogspot.com/2008_01_01_archive.html

Salmond, Jurisprudence, edisi vii ,London: 1924

Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam, Yogyakarta: Teras, 2008

Taha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, Penerjemah Yusdani, Yogyakarta: UII Press 2001



[1] Richard C.Martin. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, kata pengantar ; H. M. Amin Abdullah (Surakarta, Muhammadiyah University Press 2002)

[2] Noel James Coulson, Pengantar Akh. Minhaji Konflik Dalam Yurisprudensi Islam, penerjemah Fuad, ( Yogyakarta: Navila,2001), hal.1

[3] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikirin Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 155

[4] Ibid., hal. 156

[5] Noel James Coulson, Konflik ……, hal. viii

[6] Sadari Ahmad, Validitas Orientalisme Sebagai Peletak Sumber Kajian Hukum Islam di Barat, 0 komentar, http://pasca-uinsuka.blogspot.com/2008_01_01_archive.html

[7] Noel James Coulson, Konflik…., hal. xi

[8] Muhammad Muslehuddin, Filsafat…, hal. 157

[9] Salmond, Jurisprudence, edisi vii (London: 1924), hal. 19

[10] Noel James Coulson, Konflik…, hal. 2

[11] Ibid., hal. 4-24

[12] Ibid., hal. 25-48

[13] Ibid., hal.49-70

[14] Ibid., hal. 71-94

[15] Ibid., hal . 118

[16] Kerr, Islamic Reform, (California, 1966), hal. 19

[17] Muhammad Muslehuddin, Filsafat…, hal. 189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar