Sabtu, 13 November 2010

antropologi alqur'an

ANTROPOLOGI AL-QUR’AN:
MANUSIA MENERIMA AMANAH (QS.AL-AHZAB:72)
KEMUDIAN MELUNCUR KE DALAM KEHIDUPAN TERENDAH
(QS. AT-TIN)

A. PENDAHULUAN
Jika kita bicara antropologi, berarti kita membicarakan tentang manusia atau wujud kita saat ini. Kita telah mengetahui banyak sekali kelebihan yang dimiliki oleh manusia, seperti akal, pikiran perasaan, dan banyak lagi yang lainnya. Namun, sudahkah kita mengenal siapa kita sebenarnya? Ini adalah hal yang paling mendasar yang harus kita ketahui dalam kehidupan ini, agar kemudian kita mengetahui apa yang harus kita lakukan
Ada tiga refferensi tentang siapa diri kita, yakni: kita adalah makhluk Allah, kita adalah hamba Allah, dan kita adalah khalifah Allah. Sebagai makhluk tentunya ada yang dinamakan Khalik (pencipta). Sebagai seorang muslim, kita meyakini bahwa Allahlah Khalik kita, sehingga kita menerima banyak konsekuensi atas semua itu antara lain: tunduk dan patuh atas semua perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Sebagai seorang hamba, tentunya ada yang dinamakan tuan/majikan, sebagai seorang muslim tuan kita adalah Allah. Konsekuensi yang kita jalankan adalah beribadah kepadaNya sebagai wujud penghambaan kita terhadap Tuan kita. Kita tidak layak untuk membantahNya dan kita tidak layak untuk berpaling dariNya.
Sebagai khalifah, kita bertanggung jawab atas yang diberikan Allah kepada kita yaitu bumi. Di bumi inilah kita berada, dan kita diperbolehkan oleh Allah untuk mengambil manfaat darinya, mengolah apa yan ada di dalamnya, karena memang itu semua adalah untuk kita. Namun tetap ada pertanggungjawaban kepada Allah, karena sebenarnya bumi yang kita pijak saat ini adalah milik Allah.
Manusia adalah makhluk Allah yang terdiri dari ruh dan tanah yang kemudian berkembang menjadi makhluk yang sempurna secara fisik bila dibandingkan dengan makhluk lain. Bahkan Allah menyebutkan bahwa penciptaan manusia dalam keadaan yang sebaik-baiknya ( QS. As-Sajdah: 7).

“Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah”.
Manusia oleh Allah dilengkapi dengan potensi hati, akal dan jasad. Dengan hati manusia berniat. Dengan akal manusia berilmu, dengan akal manusia berilmu dan dengan jasad manusia beramal. Ketiga potensi itu dimiliki oleh semua manusia, hanya saja tidak semua manusia mampu mengoptimalkan ketiga potensi itu. Potensi akal dapat dikembangkan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan potensi hati dapat menjadikan hati lebih tenang dan tenteram. Potensi jasad dapat dikembangkan kepada keperluan manusia seperti aspek kesehatan dan kesejahteraan.
Dengan potensi-potensi yang dimiliki, manusia dikehendaki untuk mampu menjalankan misi sebagai khalifah yang telah diamanahkan oleh Allah walaupun makhluk lain enggan menerima amanah tersebut. Mukmin yang baik adalah mukmin yang mampu menjalankan amanah yang diberikan oleh Allah. Sebagaimana sajak penulis berikut ini tentang
”Amanah”
Kita adalah makhluk Allah,
karenanya kita tunduk dan patuh kepadaNya
Kita adalah hamba Allah,
karenanya kita beribadah kepadaNya
Kita adalah khalifah Allah,
karenanya kita bertanggungjawab kepadaNya

Amanah adalah anugerah
Amanah adalah berkah
Amanah adalah beban Ilahiah
Dengan hati kita berniat
Dengan akal kita berilmu
Dengan jasad kita beramal

Jangan lengah atas amanah
Jangan lalai atas fithrah
Agar kita tak singgah dalam kehidupan terendah
Namun abadi dalam kehidupan terindah

Untuk lebih fokusnya, akan penulis uraikan tentang penerimaan amanah oleh manusia dan kemudian meluncur ke dalam kehidupan terendah, dalam pembahasan.
B. AL-QUR’AN SURAT AL-AHZAB: 72

72. “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”
1. Munasabah
Ayat tersebut berhubungan erat dengan ayat sebelumnya (QS.Al-Ahzab:71), karena ia bagaikan menyatakan: Dan barang siapa yang tidak taat kepada Allah dan Rasul, apalagi setelah menerima amanah, maka mereka itu mendapat kerugian yang besar, juga berkaitan dengan ayat sesudahnya (QS.Al-Ahzab: 73), Sehingga kesudahannya Allah menyiksa orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan karena mereka termasuk manusia yang menerima amanat itu lalu menyia-nyiakannya. Juga berkaitan dengan (QS. At-Tin:5-6) bahwa ketika dia sudah menyimpang dengan fitrahnya dari garis yang telah ditunjuki dan dijelaskan oleh Allah, dalam mengemban amanahnya, kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, Yang tetap lurus dengan fitrah dan amanahnya


2. Tafsir
Kata  terambil dari kata ض yakni memaparkan sesuatu kepada pihak lain agar dia memilih menerima atau menolaknya. Ayat tersebut mengemukakan satu ilustrasi tentang tawaran oleh Allah kepada yang disebut oleh ayat ini. Tawaran tersebut bukanlah bersifat pemaksaan. Tentu saja siapa yang ditawari itu dinilai oleh yang menawarkannya memiliki potensi untuk melaksanakannya. Atas dasar itu ulama menambahkan bahwa tawaran Allah kepada langit, bumi, an gunung-gunung itu dan informasi-Nya bahwa mereka menolak, merupakan pertanda bahwa mereka semua bukanlah makhluk yang dapat memikul amanat itu. Di sisi lain penyerahan amanat itu – oleh Allah kepada manusia dan penerimaan makhluk ini, menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi untuk menunaikannya dengan baik. Ini karena Allah tidak akan menyerahkannya bila Dia mengetahui ketiadaan potensi itu.
Tujuan informasi ayat di atas tentang penolakan langit, bumi dan gunung adalah untuk menggambarkan betapa besar amanat itu, bukannya untuk menggambarkan betapa kecil dan remeh ciptaan-ciptaan Allah itu.
Menurut Hamim Ilyas, bahwa kenapa amanat itu ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, karena ini menunjukkan bahwa amanat itu amatlah besar dan amatlah berat, sebesar dan seberat langit, bumi dan gunung-gunung, sehingga penawaran amanat kepada benda-benda tersebut agar memudahkan pengertian kepada hambanya bahwa amanat tersebut amatlah besar.
Menurut Tafsir Alqur’an online DEPAG Indonesia, Sesungguhnya Allah telah menawarkan tugas-tugas keagamaan kepada langit, bumi dan gunung-gunung; dan karena ketiganya tidak mempunyai kesediaan dan persiapan untuk menerima amanat yang berat itu maka semuanya enggan untuk memikul amanat yang disodorkan Allah kepada mereka dan mereka khawatir mengkhianatinya. Kemudian amanat itu untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan itu disodorkan kepada manusia dan manusia menerimanya dengan akibat bahwa barang siapa yang memenuhi itu akan diberi pahala dan dimasukkan ke dalam surga dan sebaliknya barang siapa yang mengkhianatinya akan disiksa dan di masukkan ke dalam api neraka. Manusia walaupun bentuk badannya kecil dibandingkan dengan ketiga makhluk yang lain (langit, bumi dan gunung-gunung), berani menerima amanat tersebut karena persiapan dan kesediaan ada padanya. Hanya oleh karena manusia itu di dalam tubuhnya terdapat godob dan syahwat sering-sering mengelabui matanya dan menutup pandangan hatinya, maka disifati oleh Allah ta’ala dengan amat zalim dan amat bodoh karena kurang memikirkan akibat-akibat dari penerimaan amanat itu.
Berbeda-beda pendapat ulama tentang yang dimaksud oleh ayat di atas kata () al-amanah. Ada yang mempersempit sehingga menentukan kewajiban keagamaan tertentu , seperti rukun Islam atau puasa dan mandi janabah saja, ada juga yang memperluasnya sehingga mencakup semua beban keagamaan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti akal karena dengannya makhluk/manusia memikul tanggung jawab. Ibn ‘Asyur cenderung memahami kata amanah pada ayat ini dalam arti hakiki yaitu apa yang diserahkan kepada seseorang untuk dipelihara dan ditunaikan sebaik mungkin, serta menghindari segala bentuk penyia-nyiannya, baik secara sengaja maupun karena alpa dan lupa yang sengaja menyia-nyiakannya itulah yang ditunjuk oleh ayat di atas dengan kata () , sedang yang lengah dan alpha itulah yang dimaksud dengan kata (). Thaba’thaba’i terlebih dahulu menyatakan bahwa apapun yang dimaksud dengan amanat, ia pada hakikatnya adalah sesuatu yang dititipkan kepada orang lain untuk dipelihara oleh yang dititipi dan yang kemudian dikembalikan kepada penitipnya. Ini berarti ada sesuatu yang dititipkan Allah kepada manusia dan harus dikembalikan kepadanya.
Berkaitan dengan ayat berikutnya, ulama beraliran syiah berpendapat, bahwa amanat adalah sesuatu yang menjadikan suatu yang ditugaskan memikulnya berpotensi menyandang sifat kemunafikan, kemusyrikan atau keimanan. Yakni para yang diserahi amanat itu berbeda-beda ada yang munafik, ada yang musyrik dan juga ada yang mukmin. Dengan demikian, pastilah amanat itu berkaitan dengan ajaran agama yang hak yang dengan memelihara atau mengabaikanya seseorang menyandang salah satu dari ketiga sifat di atas.
Thaba’thaba’i berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan amanat itu adalah kesempurnaan yang dihasilkan oleh kepercayaan terhadap akidah yang benar, amal saleh, serta upaya menempuh jalan kesempurnaan dengan meningkatkan diri dari kerendahan materi menuju puncak keikhlasan yakni bahwa yang bersangkutan dipilih oleh Allah untuk diriNya sendiri tanpa sedikit keterlibatan pihak lain pun, dan dengan demikian Allah yang mengatur segala urusannya, dan inilah yang dinamakan wilayah ilahiyah sedang penolakan langit, bumi dan gunung-gunung berarti adalah ketiadaan potensinya untuk itu sedang penerimaannya adalah tersedianya potensi untuk memikulnya. Dan karena manusia yang berlaku aniaya dan bodoh, tidak menolak dan tidak pula khawatir memikulnya, maka jelaslah ada diantara mereka yang munafik atau musyrik, sedang yang memikulnya dengan baik maka itulah yang mukmin.
Kezaliman dan kebodohan walaupun keduanya merupakan sesuatu yang buruk dan mengundang kecaman bagi pelakunya, tetapi keduanya itu juga merupakan sebab yang menjadikan seseorang dapat memikul amanat (beban ilahiah) itu, karena sifat kezaliman dan kebodohan, hanya dapat disandang oleh siapa yang dapat menyandang sifat adil dan ilmu. Amanah yang dimaksud ayat ini, yakni wilayah ilahiyah atau kesempurnaan sifat ubudiyah hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan tentang Allah serta amal shaleh yang merupakan keadilan, sedang yang dapat menyandang kedua hal itu hanyalah makhluk yang berpotensi menyandang keduanya dalam hal ini manusia. Dan manusia yang berpotensi menyandang keduanya itu, berpotensi juga menyandang lawan keduanya yakni kezaliman dan kebodohan.Ini berarti juga bahwa manusia menurut tabiatnya adalah zaliman jahilan , demikian menurut Thaba’thaba’i.
Menurut Sayyid Quthub, bahwa langit, bumi dan gunung-gunung yang dipilih Allah untuk dibicarakan di sini dan yang merupakan makhluk-makhluk yang sangat besar itu di mana manusia hidup di dalam atau di sekitarnya sehingga terlihat sangat kecil, makhluk-makhluk itu menenal Allah tanpa upaya dari mereka. Kesemuanya taat secara otomatis tanpa berfikir atau perantara. Mereka berjalan sesuai hokum-huku yang ditetapkan Allah secara teratur tanpa berhenti walau sesaatpun, dan tanpa menyadari atau mempunyai pilihan menyangkut kerjanya itu. Semua tunduk kepadaNya namun merasa takut memikul amanat, amanat tanggung jawab, amanat kehendak, amanat pengetahuan diri, amanat upaya khusus dan itulah yang dipikul oleh manusia. Manusia yang mengenal Allah dengan pengetahuan dan perasaannya serta memahami hukum-hukumNya dengan mempelajari dan memperhatikannya. Dia mengamalkan hukum-hukum itu melalui upaya dan kesungguhannya. Dia taat kepada Allah berdasarkan kehendak dan dorongan dirinya serta dengan melawan nafsunya yang mengajak kepada penyimpangan dan dia dalam setiap langkah–langkah itu adalah seorang yang berkehendak dan berpengetahuan. Dia memilih jalannya dan mengetahui kemana diantar oleh jalan itu. Ini adalah amanah yang sangat besar yang dipikul oleh makhluk yang kecil badannya ini, sedikit kekuatannya lagi lemah kemampuannya serta terbatas umurnya dan diperebutkan oleh aneka syahwat, dorongan, kecenderungan serta keinginan-keinginan. Sungguh penerimaan amanat itu oleh manusia mengandung resiko yang besar. Dengan menerimanya maka ia telah memikul suatu beban tanggungjawab yang berat diatas pundaknya. Dan karena itu pula dia adalah zaliman menganiaya dirinya dan jahulan tidak mengetahui kemampuannya, jika dibandingkan dengan besarnya tanggungjawab yang bersedia dipikulnya. Memang kalau dia dapat berhasil memikulnya dan bangkit melaksanakan apa yang dituntut oleh amanat itu, maka sungguh dia telah mencapai satu maqam (peringkat) yang mulia, suatu kedudukan yang sangat unik di antara makhluk-makhluk Allah.
Namun sebaliknya jika manusia tidak mampu melaksanakan amanat itu, maka manusia akan meluncur ke dalam kehidupan yang terendah, sebagaimana yang terdapat dalam QS. At-Tin, yang akan penulis bahas berikutnya.
Lalu bagaimana kita seharusnya mengemban amanat itu? Berikut adalah beberapa hal yang seharusnya ada pada pribadi muslim menurut Muhammad Ammar Azmi, antara lain;
1. Salimul Aqidah ( Aqidah yang bersih), dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuanNya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman Allah (QS. 6: 162)
 •        
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Sebagaimana dalam sabda Rasul “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat” dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW.
3. Matinul Khuluq (Akhlak yang kokoh)
Baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan makhluk- makhlukNya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia hidupnya baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Allah berfirman dalam (QS. Al-Qalam: 4)
    
.“ Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
4. Qawwiyul Jismi (kekuatan jasmani)
Kekuatan jasmani berarti seorang muslim mmemiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dalam bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
5. Mutsaqqaful fikri (Intelek dalam berfikir)
Hal ini penting. Karena ini adalah salah satu sifat Rasul fathanah/cerdas. Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah QS. Az-Zumar:9
              
9. … Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
6. Mujahadatul Linafsih (berjuang melawan hawa nafsu)
Setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam.
7. Harishun’ala waqtihi (pandai menjaga waktu)
Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut pandai mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia- sia.
8. Munazhzhamun fii syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan, bersungguh-sungguh, bersemangat, berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9. Qadirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Kemandirian ini seorang muslim dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki diri Allah SWT. Rezeki yang Allah sediakan harus harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi’un li ghairihi (bermanfaat bagi orang lain)
Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun ia berada orang di sekitarnya merasakan keberadaan. Jangan samai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Rasulullah bersabda“ Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain“(HR. Qudhy dari Jabir)
Itulah profil seorang muslim yang seharusnya menjadi standarisasi pada diri kita masing-masing dalam mengemban amanat agar kita bisa mencapai tingkat makrifat yang tinggi kepada Tuhan, dan tidak terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam bahkan lebih rendah dari binatang. Sebagaimana yang terdapat dalam QS.At-Tin. Yang akan penulis bahas berikut ini.

C. ALQUR’AN SURAT AT-TIN
 •                                        
Artinya:
1. Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun[1587],
2. Dan demi bukit Sinai[1588],
3. Dan demi kota (Mekah) Ini yang aman,
4. Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
5. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
6. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
7. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
8. Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?
1. Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa firman Allah (QS.At-Tin:5) (Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya), mengandung arti di kembalikan ke tingkat pikun (seperti bayi lagi). Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah pernah ditanya tentang(kedudukan) orang yang pikun. Maka Allah menurunkan ayat selanjutnya (QS.At-Tin: 6), yang menegaskan bahwa mereka yang beriman dan beramal shaleh sebelum pikun, akan mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.
2. Tafsir
Yang dipaparkan dalam surat ini adalah hakikat pokok yakni hakikat fitrah yang lurus yang Allah menciptakan manusia atas fitrah ini. Istiqamah tabiatnya bersama tabiat iman, dan sampainya fitrah itu bersama iman kepada kesempurnaannya yang ditakdirkan untuknya. Hakikat tentang jatuhnya manusia dan kerendahannya ketika ia menyimpaang dari fitrah yang benar dan iman yang lurus.
Allah bersumpah atas hakikat ini dengan Tin dan Zaitun , Gunung Sinai dan kota Mekah yang aman. Gunung Sinai adalah Gunung yang Nabi Musa diseru dari sisinya. Sedangkan kota yang aman adalah kota Mekah Baitullah Al-Haram. Hubungan antara Gunung Sinai dan Kota Mekah ini yaitu dengan urusan agama dan iman
Ada yang berpendapat bahwa Tin itu mengisyaratkan kepada Gunung Zaita di seberang Damsyiq. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah isyarat yang menunjuk kepada pohon Tin tempat Adam dan istrinya pergi mengambil daun-daunnya untuk menutup kemaluannya di surga yang mereka tempati sebelum turun ke kehidupan dunia. Adapula yang mengatakan bahwa ia adalah daerah tempat tumbuhnya pohon Tin di gunung tempat berhentinya bahtera Nabi Nuh as. Mengenai zaitun ada yang mengatakan bahwa ia adalah isyarat yang menunjuk kepada Gunung Zaita di Baitul Maqdis. Ada yang mengisyaratkan kepada Baitul Maqdis itu sendiri. Ada yang megatakan bahwa ia mengisyaratkan kepada ranting pohon zaitun yang di bawa pulang kembali oleh burung merpati yang dilepas oleh Nabi Nuh dari bahtera untuk memberi pertanda telah surutnya banjir. Maka ketika burung itu kembali dengan membawa ranting pohon ini, tahulah Nabi Nuh bahwa bumi telah surut airnya dan telah menampakkan tumbuh-tumbuhannya. Pohon Zaitun yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an berada di suatu tempat di dekat Gunung Sinai, lalu dikatakan, ”pohon yang tumbuh dari Kawasan Gunung Sinai yang menghasilkan minyak dan dijadikan lauk pauk bagi orang yang hendak makan” sebagaimana dalam Al-Qur’an disebutkan pohon zaitun dalam firman Allah (’Abasa:29)
  
29. Zaitun dan kurma,
Dalam ayat ke- 4 Allah menegaskan bahwa dia telah menjadikan manusia makhluk ciptaanNya yang paling baik; badannya lurus ke atas,cantik parasnya, mengambil dengan tangan apa yang dikehendakinya; bukan seperti kebanyakan binatang yang mengambil benda yang dikehendakinya dengan perantaraan mulut, kepada manusia diberikannya akal dan dipersiapkan untuk menerima bermacam-macam ilmu pengetahuan dan kepandaian, sehingga dapat berkreasi (berdaya cipta), dan sanggup menguasai alam dan binatang
Ayat ini tampak bagaimana perhatian Allah dalam menciptakan manusia di dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Memang Allah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, tetapi dikhususkannya penyebutan manusia di sini dan di tempat-tempat lain dalam Al-Qur’an dengan susunan yang sebaik-baiknya. Hal ini menunjukkan perhatian yang lebih dari Allah kepada makhluk yang bernama manusia. Perhatian Allah terhadap manusia, meskipun pada diri mereka juga terdapat kelemahan dan adakalanya penyimpangan dari fitrah , dan kerusakan, mengisyaratkan bahwa mereka memiliki urusan tersendiri di sisi Allah, dan memiliki timbangan tersendiri di dalam sistem semesta. Perhatian ini tampak di dalam penciptaannya dan susunan tubuhnya yang bernilai dibandingkan dengan makhluk lain, baik di dalam susunan fisiknya yang sangat cermat dan rumit, susunan akalnya yang unik, maupun susunan ruhnya yang menakjubkan.
Manusia juga merupakan makhluk yang paling mulia (QS.Al-Isra’: 70)
                  
70.”Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautankami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.”
Selain itu, manusia juga merupakan makhluk yang paling sukai oleh Allah .Sebagaiman dalam firman-Nya (QS. Al-Jatsiyah: 12-13)
                  •         •      
12. Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu bersyukur.
13. Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
Selain itu manusia juga dikatakan makhluk yang paling indah, karena memiliki akal pikiran. Dengan akal pikiran itu manusia manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yanag buruk. Dengan akal itu pula manusia bisa menambah ilmu dan wawasan sehingga bisa bermanfaat bagi makhluk hidup di sekitarnya. Kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk menunjukkan bahwa manusia juga makhluk yang cerdas. Kecerdasan yang dimiliki itu tidak lain adalah anugerah dari Allah. Dia yang telah mengajarkan manusia tentang nama segala sesuatu sehingga manusia bisa mengenalnya. Sebagaimana dalam firman Allah (QS.Al-Baqarah: 31)
               
31. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Dari ayat 4 tersebut tampak bagaimana perhatian Allah dalam menciptakan di dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Memang Allah SWT menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, tetapi dikhususkannya penyebutan manusia di sini dan di tempat-tempat lain dalam Al-Qur’an dengan susunan yang sebaik-baiknya, bentuk yang sebaik-baiknya, dan keseimbangan yang sebaik-baiknya. Hal ini menunjukkan perhatian yang lebih dari Allah kepada makhluk yang bernama manusia. Jika dapat digambarkan, maka berikut ini adalah perbandingannya;

Pada ayat ini (4) Allah menggunakan kata insan. Kata insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.
Jika mengungkap tentang manusia biologis, maka bahasa yang digunakan ialah bahasa alam dengan menyebutkan sperma, gumpalan darah, dan janin. Allah SWT menciptakan Adam as dengan menggunakan bahasa filosofis dan metaforis yang penuh dengan makna dan simbol. Kejadian ini dapat dipahami memiliki esensi, kodrat ruhaniah dan atributnya.
Dalam firman Allah (QS. Al-Hijr: 26 dan 29)
       • 
26. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
         
29. Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud
Lempung dan Ruh Allah merupakan dua simbol yang kontradiktif yang berkumpul dalam satu tubuh. Ini adalah makna simbolis. Lempung adalah simbol kerendahan, kehinaan, stagnasi dan pasifitas mutlak, sedangkan Ruh Allah adalah simbol dari gerakan tanpa henti ke arah kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas dan merupakan ungkapan sifat-sifat positif seperti terbaik, terpuji terhormat dan termulia.
Ruh Allah adalah lambang kesucian, keindahan, kemegahan, kekuasaaan dan lain-lain terkandung pada diri manusia sebagai suatu potensialitas yang sangat berharga, sebagai suatu daya tarik yang sangat dasyhat dan dapat mengangkat diri manusia ke arah puncak derajat yang lebih tinggi. Dengan Ruh Allah inilah manusia menjadi mulia, melebihi derajat malaikat yang menjadikan semua makhluk tunduk dan sujud pada manusia kecuali iblis. Namun pada diri manusia ada sesuatu kekuatan lain (lempung) yang menentang potensialitas tersebut yang menggoda dan menyeret kepada stagnasi, kekuatan immobilitas, maut, kerendahan dan keburukan serta keterpurukan. Jika faktor penentang berhasil, jadilah manusia bagaikan genangan keruh, sisa-sisa tnggalan banjir,. Ia tidak lagi menafaskan Ruh Allah, karena ia tidak lebih dari sekedar lempung busuk, segumpal endapan lumpur. Kondisi ini telah digambarkan dalam Al-Qur’an Surat At-Tin ayat 5” Kemudian Kami kembalikan dia (manusia) ke tempat yang serendah-rendahnya”
Fithrah manusia yang dualistis dan mengandung kontradiksi, maka manusia merupakan gejala dialektis untuk selalu dalam keadaan bergerak menuju ke suatu titik koordinat. Dalam dirinya ada ajang pertarungan antara dua kekuatan yang menumbuhkan evolosi terus menerus ke arah kesempurnaan ke arah Allah.
Memang manusia harus selalu memelihara anugerah dan amanah dengan kesungguhan, dengan cara mencintai bukan berambisi untuk memiliki dan menguasai sarana hidup yang meliputi tahta, harta dan wanita. Jika ada pada diri manusia itu niscaya datanglah kehancuran lahir dan bathin, yaitu berupa kemungkaran dan kekejian. Maka apabila manusia sudah ditempa bencana kehancuran lahir dan bathin, yaitu berupa kemungkaran dan kekejian, pada saat itulah turun martabat fitrah manusia di sisi Allah sebagaimana dalam ayat 5 tersebut.
Dalam tafsir DEPAG Indonesia, Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa jiwa manusia tersebut telah dikuasai oleh kejahatan, terbenam dalam kesesatan lupa akan fithrah kejadiannya, terpengaruh oleh nafsu kebinatangannya dan terjerumus ke dalam jurang keonaran dan dosa. Kecuali orang-orang yang tetap pada fithrahnya, yaitu orang-orang yang dilindungi dan dipelihara oleh Allah.
Perhatian Allah terhadap manusia, meskipun pada diri mereka juga terdapat kelemahan dan adakalanya penyimpangan dari fithrah dan kerusakan, mengisyaratkan bahwa mereka memiliki urusan tersendiri di sisi Allah, dan memiliki timbangan sendiri di dalam sistem semesta. Perhatian ini tampak di dalam penciptaanya dan susunan tubuhnya yang bernilai dibandingkan dengan makhluk lain, baik dalam susunan fisiknya yang sangat cermat dan rumit, susunan akalnya yang unik, maupun susunan ruhnya yang menakjubkan. Pembicaran di sini ditekankan pada khususiah ruhiahnya. Karena ialah yang menjadikannya jatuh ke tempat yang serendah-rendahnya ketika menyimpang dari fithrah dan menyeleweng dari iman yang lurus. Karena sudah jelas bahwa wujud badaniahnya tidak akan menjatuhkannya ke derajat yang serendah-rendahnya. Dalam khususiah ruhiahnya ini, tampaklah keunggulan wujud manusia, maka mereka diberi potensi untuk mencapai tingkatan yang tinggi melebihi kedudukan malaikat muqarrabin, sebagaimana dibuktikan dengan adanya peristiwa Isra’ Mi’raj. Ketika itu malaikat Jibril berhenti pada suatu tempat, sedang Nabi Muhammad yang manusia itu terus naik ke tempat yang lebih tinggi.
Menurut Sayyid Quthub, manusia potensial untuk mencapai derajat terendah yang tidak ada makhluk lain mencapai derajat kerendahan seperti itu. Ketika itu makhluk binatangpun masih lebih tinggi dan lebih lurus daripadanya. Karena binatang masih istiqamah pada fithrahnya, masih melaksanakan ilham bertasbih menyucikan TuhanNya, dan menunaikan tugasnya di bumi menurut petunjuk yang digariskan oleh Allah.. Sedangkan manusia yang diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya mengingkari Tuhan-Nya dan memperturutkan hawa nafsunya. Sehingga ia hingga jatuh ke lembah kehinaan terendah yang binatangpun tidak sampai terjatuh serendah itu, ketika ia sudah menyimpang dengan fithrahnya dari garis yang telah ditunjuki dan di jelaskan oleh Allah. Kemudian dibiarkannya ia untuk memilih salah satu dari dua jalan kehidupan.
Dalam ayat 6 ” Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, Mereka yang tetap berada di atas fithrah yang lurus, dan menyempurnakannya dengan iman dan amal shaleh, serta meningkatkan derajatnya ke tingkat kesempurnaan sesuai dengan ukuran yang ditetapkan untuknya. Sehingga mencapai kehidupan yang sempurna di negeri kesempurnaan, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” yang kekal abadi tidak akan pernah berhenti.
Dalam ayat ini Allah mengungkapkan bahwa manusia yang terpelihara dari keterjerumusannya ke lembah kehinaan dan dosa, hanyalah orang-orang yang jiwanya telah diresapi oleh iman. Serta orang-orang yang mengakui bahwa alam semesta ini ada penciptaan yang mengatur semua urusannya dan membentuk syari’at-syari’at untuk hambanya yang harus dipatuhi. Setiap kejahatan pasti ada ancaman pula dan begitu pula kebaikan ada ganjarannya pula.
Mereka akan menerima pahala amal saleh bila mereka telah dihidupkan kembali pada hari kiamat setelah di hisab. Mereka itu ialah pengikut para Nabi dan orang yang mendapat petunjuk dari para Nabi kepada jalan yang benar.
Dalam ayat 7-8 Apakah yang menjadikanmu mendustakan hari pembalasan sesudah dijelaskan hakikat ini dan sesudah diketahuinya nilai iman dan di dalam kehidupan manusia? Apa yang menyebabkanmu mendustakannya sesudah dijelaskannya tempat kembali orang-orang yang tidak beriman, tidak menggunakan petunjuk cahaya ini, dan tidak berpegang dengan tali Allah yang kuat ?. Bukankah Allah itu hakim yang seadil adilnya ketika memutuskan urusan makhluk seperti ini?. Atau bukankah kebijaksanaan Allah itu sangat tinggi didalam memberikan keputusan yang demikian kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman?. KeadilanNya sangat jelas, kebijaksanaanNya sangat nyata.

D. KESIMPULAN
1. Dalam mengemban amanah, yang harus ada pada pribadi muslim adalah: salimul aqidah, shahihul ibadah,matinul khuluq,qawwiyul jismi, mutsaqqaful fikri, mujahadatun linafsih, harishun ala waqhtihi, munazhzhamun fi syuunihi, qadirun alal kasbi, nafi’un lighairihi
2. Ciri-ciri kita sebagai manusia adalah: manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani, manusia makhluk yang terbaik, makhluk yang termulia, makhluk yang telah dipercaya oleh Allah untuk menunaikan suatu amant yang sangat istimewa, Makhluk yang diangkat Allah sebai khalifah-Nya di bumi ini, makhluk yang telah diserahkan kepadanya apa yang ada di bumi dan di langit , bahkan surga diciptakan untuk manusia.
3. Barangsiapa yang berhasil memikulnya dan bangkit melaksanakan apa yang dituntut oleh amanat itu, maka sungguh dia telah mencapai satu maqam (peringkat) yang mulia, suatu kedudukan yang sangat unik di antara makhluk-makhluk Allah. Namun sebaliknya jika manusia tidak mampu melaksanakan amanat itu, maka manusia akan meluncur ke dalam kehidupan yang terendah.




















DAFTAR PUSTAKA

Akirasuri, Hakikat Janji Manusia, www.akirasuri.com.my, Malaysia

Akmaliah, Fithrah Manusia www.akmaliah.com/index.php?option=com

Anshori, Bahron, Manusia Makhluk Paling Indah, www.kabarindonesia.com, 23 November 2006

Azmi, Muhammad Ammar, Profil Pribadi Muslim, www.kr.co.id Selasa 13 Maret 2001

Buwaethy, Ahmad, www.ditjen Bimas Islam , 30 November 1999

CD Alqur’an

DEPAG Indonesia, http://ccc.1asphost.com/assalamtafsir/Alqur’an-surah.asp?surat

Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, jilid 12, Jakarta: Gema Insani, 2001

Shaleh, K.H.Q, et.al, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Alqur’an, Bandung: Diponegoro,2007

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol.11, Jakarta: Lentera Hati, 2002

----------------,Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat , Bandung; Mizan, 1996

Yuda DH, Mengenal diri Kita, http://yudadh.wordpress.com/2006/12/25/mengenaldirikita












ANTROPOLOGI AL-QUR’AN:
MANUSIA MENERIMA AMANAH (QS.AL-AHZAB:72)
KEMUDIAN MELUNCUR KE DALAM KEHIDUPAN TERENDAH
(QS. AT-TIN)

Makalah Edisi Revisi
Disusun Untuk Ujian Semester Gasal
Pada Mata Kuliah
STUDI AL-QUR’AN: TEORI DAN METODOLOGI
DOSEN: Dr. HAMIM ILYAS, MA






Oleh:

SANGIDAH ROFI’AH, S.Ag
NIM: 07.223.743




PROGRAM PASCA SARJANA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
JANUARI 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar